Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup maka pintu kebahagiaan yang lainnya akan terbuka,
tapi kadang kita seringkali terlalu lama berada di depan pintu tertutup itu...
Ketika kamu lahir, kamu menangis
dan semua orang di sekeliling kamu tersenyum.
Hiduplah dengan hidupmu, jadi ketika kamu meninggal,
kamu satu-satunya yang tersenyum dan semua orang
di sekeliling kamu menangis.
Kursor
HASIL PERTANDINGAN BOLA
NONO BLOG - DAFTAR LIVE SCORES SEPAKBOLA DUNIA
Membaca Simbol ke Pesta Para Sarjana Wisuda
(sarjana, sampah, anak-anak, dan sebagainya)
================================================
Selalu ada saja yang menarik ketika kita mendatangi sebuah acara wisuda. Di sana ada kegembiraan dan kecemasan sekaligus. Ada mereka yang menangis karena bahagia, atau malah menangis karena membayangkan hari esok yang semakin tidak jelas. Ada sorak-sorai, ada keramaian, ada riuh yang seperti tak akan usai. Dan ada yang mencari hidup di antara keramaian itu dengan menggelar dagangan, bazar-bazar, demontrasi obat sumbu badak, pil penghilang bau ketiak, tato seminggu hilang, sandal harga sepuluhribu….
Seberapa pentingnya acara wisuda yang tak jarang lebih banyak menimbulkan kesusahan? Mulai dari biaya ke salon si calon wisudawan dan wisudawati, para undangan dan keluarga yang menanti, dan tetek bengek lainnya? Tapi di lain hal, bahwa acara wisuda bagi wisudawan dan wisudawati (mungkin) hanya terjadi sekali dalam seumur hidupnya, kenapa tidak harus dirayakan? Tidakkah akan merasa rugi? Seorang teman pernah berujar demikian.
Segala bercampur-aduk. Paradoks digelar di banyak tempat. Para guru besar dengan segala atribut yang melekat di tubuh mereka yang menyilaukan mata, yang memaksa para tamu dan undangan untuk berdiri sejenak sebagai penghormatan ketika mereka memasuki ruangan, adalah bagian yang tak mungkin dielakkan. Saya tiba-tiba membayangkan, Nabi pernah melarang orang untuk menghormatinya dengan cara demikian.
Mengunjungi acara wisuda, kita akan saksikan, ada mereka yang berharap di luar sana, ada yang dengan tak sabar menantikan seseorang keluar dengan toga bertengger di kepala. Segalanya penuh dengan bahasa simbol. Seperti pakaian kebesaran para guru besar, toga para wisudawan dan wisudawati, dan tentu saja ijasah yang mereka apit dan usung. Simbol memainkan peran. Bahkan tangisan, kegembiraan, rasa haru—barangkali bercerita tentang keletihan akan tahun-tahun perkuliahan bagi si wisudawan atau wisudawati, maupun oleh orang-orang yang berada di belakang mereka yang membiayai dan mengiringi mereka sejak “mulai” hingga “selesai”—adalah simbol tersendiri.
Banyak waktu di mana simbol-simbol tertentu diperlukan untuk mengantarkan pengertian. Seperti si wisudawan dan wisudawati yang ingin berfoto dengan latar belakang jejejaran buku-buku tebal agar terlihat anggun, terkesan pemikir dan intelektual: dan sempurna sebagai sarjana.
Deretan buku-buku tebal, walaupun hanya gambarnya saja, pada akhirnya juga adalah semacam simbol. Seperti ijasah yang diapit, seperti toga, seperti pakaian kebesaran para guru besar dan segala aksesoris yang melekat di tubuh mereka.
Kita bisa maklum, simbol adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk dengan kecendrungan untuk bersimbol-simbol. Orang purba mulanya menggunakan simbol-simbol di dinding goa untuk mencoba mencatatan dan menjelaskan sejarah keberadaan mereka. Hanya terkadang simbol-simbol nyaris tak mengantarkan kita pada tafsir yang memadai. Apa artinya toga? Apa artinya pemindahan jambul dari kiri ke kanan?
Pemindahan jambul dari kiri dan kanan barangkali merupakan simbol dari keterbelakangan yang gelap menuju kecerahan, kebodohan menuju kecerdasan dan kebijaksanaan. Kanan dan kiri berperan di sini sebagai simbol. Dan toga, pakaian seragam untuk wisuda, pakaian kebesaran para guru besar dengan segala perangkat aksesorisnya… mungkin segalanya memiliki arti tersendiri.
Sementara di lain hal, para wisudawan dan wasudawati mengapit ijasah, berfoto-foto dengan kerabat atau teman dekat, makan-makan bersama, merayakan sesuatu, mungkin keberhasilan dari usaha yang melelahkan. Ah, memang bukan sesuatu yang aneh dan baru untuk sebuah perayaan. Tapi kita tengah memperbincangkan simbol. Acara wisuda pun pada akhirnya juga semacam simbol, seperti halnya upacara bendera setiap Senin pagi ketika saya masih sekolah dulu: bendera, penghormatan, barisan, obade, paskibra.… Guru saya selalu wanti-wanti kalau berbaris tidak tertib, dikatakan tidak menghormati jasa pahlawan yang sudah mati-matian mempertahankan republik ini.
Institusi pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi, barangkali penuh dengan bahasa simbol. Apakah keluar dari perguruan tinggi ini, atau perguruan tinggi itu, telah merupakan jaminan untuk suatu takaran penghargaan dan nilai-nilai, dari aspek apa pun itu ditimbang? Seseorang akan diuji kembali, dites juga akhirnya, berapapun indeks prestasinya, mungkin oleh perusahaan tempat mereka mengajukan lamaran kerja, oleh institusi dan jawatan yang mereka ingin masuki… oleh waktu, keadaan, nasib, dan sebagainya.
Ijasah, oleh perguruan tinggi atau universitas mana pun ia dicetak, selamanya menjadi tak cukup penting. Tak pernah ada memberikan jaminan untuk itu. Dan belum cukup dipercaya sebagai penujuk kemampuan seseorang. Bahwa ijasah hanyalah simbol, bahwa seseorang yang mendapatkanya telah menamatkan jenjang pendidikan tertentu, tak lebih.
Tamat dari bangku perkuliahan menghadapkan kita pada dunia yang asing dan penuh tuah, dunia gelap penuh bayangan, entah bayangan apa, nyaris tak ter-rupa, mungkin bayangan kita sendiri yang tak lagi kita kenali. Karena waktu bergerak ke depan. Begitukah?
Namun barangkali bagi sebagian lain malah adalah sebuah kejelasan, kepastian untuk bergerak, menggerakkan hidup selanjutnya, dengan langkah yang nyata, yang lebih pasti akibatnya; hidup yang sebenarnya dimulai saat itu, ketika ijasah telah berada di genggaman.
Maka tamat bukan akhir. Menjadi sarjana adalah lepas dari kungkungan simbol-simbol, untuk menghadapi dunia yang tak lagi sekedar simbol. Pada akhirnya, “keluar” dari institusi pendidikan seperti keluar dari sebuah lapangan rumput yang hijau; dari kamar mandi yang sejuk; dari sebuah kolam air hangat; dari sebuah rental playstation; dari sebuah pertarungan yang kadang tak adil; dari tidur yang sedikit tak nyenyak mungkin; dari sebuah bus tua yang mengantarkan penumpangnya dalam kecemasan dengan tujuan yang nyaris belum jelas…. Ada lorong-lorong yang panjang dan jauh, yang harus dan mesti ditempuh, yang lebih kelam dan menakutkan.
Dan selalu, sisa setiap pesta adalah SAMPAH. Dalam keramaian dan hirup-pikuk, ANAK-ANAK-lah yang barangkali paling bergembira.
(Padang-Pesisir, 2007)